Pendahuluan
Bahasa sebagai sebuah sistem alat komunikasi untuk
menyampaikan keinginan, telah memainkan peranan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Melalui bahasa pula segala informasi atau pesan
dapat dipahami dan disampaikan. Oleh karena itu, bagi orang yang ingin
mendapatkan informasi melalui suatu bahasa yang tidak dia pahami maka
orang tersebut membutuhkan terjemahan dari bahasa tersebut.
Kata
penerjemahan secara etimologis merupakan kata yang diserap dari kata
bahasa Arab yang berarti memindahkan, menafsirkan, atau menjelaskan[2].
Sedangkan secara terminologis, beberapa pakar menyatakan sebagai
pengalihan arti dan pesan dari suatu bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran[3].
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa dalam proses penerjemahan makna adalah
salah satu unsur yang harus dipindahkan. Seorang penerjemah harus mampu
memindahkan makna (isi) dengan baik, agar mudah diterima dan dipahami
oleh pembacanya. Pemindahan makna dari bahasa sumber, dan mencarikan
padanan yang tepat dalam bahasa sasaran bukan hal yang mudah. Karena
itulah Ahmad Mukhtar Umar mengatakan bahwa permasalahan mendasar dalam
proses penerjemahan adalah mencari padanan makna yang tepat untuk suatu
kata dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Hal ini mengharuskan
adanya kesesuaian kedua bahasa pada tataran tata bahasa, sosial,
budaya,…. Dan ini sangat tidak mungkin[4].
Macam-macam Makna
Jika
makna mendapat prioritas utama dalam proses penerjemahan, maka dalam
hal ini perlu kiranya terlebih dahulu dipahami beberapa hal yang terkait
dengan makna bahasa yang akan diterjemahkan, yaitu:
1. Makna Leksikal
Makna
leksikal (makna asâsiyyah atau mu‘jamiyyah, atau juga makna denotatif)
dapat diartikan sebagai makna kata secara lepas diluar konteks
kalimatnya. Makna leksikal ini terutama yang berupa kata dalam kamus
biasanya menjadi makna pertama dari kata atau entri yang terdaftar dalam
kamus tersebut[5].
Berdasarkan
pengertian ini, dapat dikatakan bahwa makna leksikal, adalah arti dasar
yaitu makna yang menjadi substansi kebahasaan yang menjadi akar dari
segala derivasi yang digunakan dalam struktur kalimat. Seperti kata “
قرأ ” berarti aktifitas menghimpun informasi, membaca, meneliti,
mencermati, menelaah, dan sebagainya[6].
Dalam
bahasa Arab, misalnya kata “رأس (kepala)” makna leksikalnya adalah
“bagian tubuh dari leher keatas untuk manusia dan dari leher kedepan
untuk binatang”, sedang makna “awal” atau “permulaan” bukanlah makna
leksikal, sebab untuk menyatakan makna “awal” atau “permulaan”, kata
“رأس” itu harus bergabung dengan unsur lain, seperti dalam frase “رأس
الشهر (awal bulan)” atau “رأس العام (awal tahun)”.
2. Makna Gramatikal
Makna
gramatikal adalah makna yang muncul sebagai hasil suatu proses
gramatikal. Dan dalam bahasa Arab dikenal dua bentuk gramatikal yaitu
Sintaksis (Nahw) dan Morfologi (Sharf).
Dalam sintaksis Arab dikenal
sebuah istilah yang disebut dengan i‘râb. Kedudukan i‘râb mempunyai
peranan penting dalam menentukan kejelasan suatu makna. Seperti kalimat
أكرم محمد عليا mempunyai makna khusus, ketika kedudukan i‘râbnya
dirubah -dengan merubah fa‘il menjadi maf‘ul dan maf‘ul menjadi fa‘il-
maka makna yang dikandung oleh kalimat tersebut juga bisa berubah.
Kaidah-kaidah
sintaksis telah memberikan peranan yang penting untuk menjelaskan makna
dalam bahasa Arab, oleh karena itulah al-Suyûthî mengatakan bahwa
penggunaan i‘râb dalam bahasa Arab adalah untuk menghilangkan kekaburan
makna[7].
Dalam morfologi Arab, cara pembentukan struktur dan bentuk
derivasi kebahasaan juga mempunyai peranan penting dalam pembentukan
suatu makna. Semua bentuk kata kerja (mâdhî, mudhâri‘, dan amar) adalah
untuk menunjukkan suatu kejadian dan waktunya. Dan segala bentuk
penambahan huruf (afiksasi; bentuk prefiks/al-sâbiqah,
infiks/al-dâkhilah, sufiks/al-lâhiqah, dan superfiks/al-‘aliyah),
reduplikasi (tadh‘îf), emphasis (taukîd) dan lain-lain yang terkait
dengan kata kerja mempunyai pengaruh penting dalam memberikan makna[8].
3. Makna Kontekstual
Makna
kontekstual adalah makna yang diperoleh dari lingkungan kebahasaan yang
melingkupi sebuah kata, ungkapan atau kalimat. Makna kontekstual ini
juga berlandaskan pada kondisi sosial, situasi atau tempat serta keadaan
dan kesempatan dimana kata atau kalimat itu diucapkan dengan segala
unsurnya, baik dari pembicara ataupun pendengar[9].
Karena itulah banyak pakar mengatakan bahwa sebuah kata baru dapat
ditentukan maknanya, apabila kata itu telah berada dalam konteks
kalimatnya.
Makna sebuah kalimat sering tidak tergantung pada sistem
gramatikal leksikal saja, tetapi bergantung pada kaidah wacana. Makna
sebuah kalimat yang baik pilihan katanya dan susunannya sering tidak
dapat dipahami tanpa memperhatikan hubungannya dengan kalimat lain dalam
sebuah wacana. Contoh pemahaman ekspresi “terima kasih” bermakna “tidak
mau” dalam situasi jamuan makan[10].
Misalnya
lagi kata امرأة atau kata perempuan, selain bermakna denotative kata
itu mempunyai makna-makna lain sesuai latar budaya penuturnya.. misalnya
“dasar perempuan” bisa bermakna cengeng, cerewet, dan lain-lain. Begitu
juga makna kata ‘يهودي’, kata ini selain bermakna denotative juga
bermakna “tamak, rakus, bakhil, suka makar dan menipu”[11]. Karena itulah konteks kalimat terbagi menjadi empat, yaitu:
a. Konteks kebahasaan (linguistic context/al-siyâq al-lughawî)
Yang
dimaksud konteks kebahasaan adalah kumpulan suara, kata-kata, dan
kalimat yang dapat mengantarkan pada suatu makna tertentu, atau seluruh
keadaan, kondisi, dan unsur-unsur kebahasaan yang melingkupi sebuah
kata.
Hal ini bisa dicontohkan dengan kata “حسن” dalam bahasa Arab
yang berada dalam berbagai macam konteks kebahasaan dapat mempunyai
berbagai macam makna. Apabila kata “حسن” berada dalam konteks kebahasaan
yang beriringan dengan kata “رجل (seorang laki-laki)”, maka makna yang
dimaksud adalah dari sisi keagungan akhlaknya. Jika kata “حسن” berada
dalam konteks sebagai sifat dari “طبيب (seorang dokter)”, maka makna
yang dimaksud adalah prestasi kerjanya (bukan keagungan akhlaknya). Atau
jika kata “حسن” ini menjadi sifat dari “هواء (udara)”, maka makna yang
dimaksud adalah kebersihan dan kesegarannya[12].
b. Konteks emosional (emotional context/al-siyâq al-‘âthifî)
Yang
dimaksud konteks emosional adalah kumpulan perasaan dan interaksi yang
kandung oleh makna kata-kata, dan hal ini terkait dengan sikap pembicara
dan situasi pembicaraan[13].
Sementara makna emosional yang dikandung oleh kata-kata itu
berbeda-beda kadar kekuatannya, ada yang lemah, ada yang sedang, dan ada
yang kuat. Seperti emosi yang dibawa oleh kata يكره berbeda dengan
emosi yang dibawa oleh kata يبغض walaupun sama-sama bermakna membenci,
akan tetapi perasaan benci yang dikandung oleh kata يكره lebih kuat dari
pada perasaan benci yang dikandung oleh kata يبغض . Demikian juga
kataاغتال dan قتل yang sama-sama bermakna membunuh, akan tetapi kata
اغتال lebih merupakan sebuah ungkapan kekerasan dan keganasan dalam
membunuh, dan biasanya lebih bersifat politis[14].
c. Konteks situasional (situational context/siyâq al-mauqif)
Yang
dimaksud dengan konteks situasional adalah situasi eksternal yang
mungkin bisa dikandung oleh makna sebuah kata, dan hal itu menuntut
untuk mempunyai makna tertentu. Seperti penggunaan kata يرحم yang
diungkapkan ketika ada orang yang bersin, maka ungkapan yang digunakan
adalah يرحمك الله , yaitu dimulai dengan fi‘il (kata kerja). Sementara
ketika berada dalam situasi mengucapkan bela sungkawa, maka ungkapan
yang diucapkan adalah الله يرحمه , yaitu dimulai dengan isim (kata
benda). Ungkapan yang pertama adalah bermakna memohon rahmat di dunia,
sementara ungkapan yang kedua adalah bermakna memohon rahmat di akhirat.
Dan yang menunjukkan munculnya kedua macam makna di atas adalah konteks
situasi[15].
d. Konteks kultural (cultural contex/al-siyâq al-tsaqâfî)
Yang
dimaksud konteks kultural adalah nilai-nilai kultural dan sosial yang
kandung oleh sebuah kata atau kalimat, hal ini terkait dengan kebudayaan
dan masyarakat tertentu. Karena itulah, perbedaan lingkungan budaya
pada suatu masyarakat akan mengakibatkan perbedaan makna kalimat pada
lingkungan budaya masyarakat yang lain[16].
Seperti kata الجذر yang dipakai oleh ahli bahasa bermakna akar
kata/pokok kata, sementara menurut para petani bermakna akar tumbuhan,
sedangkan menurut ahli matematika adalah bermakna akar bilangan/tanda
akar. Makna yang seperti ini juga bisa dijumpai pada pribahasa, seperti:
قبل الرماء تملأ الكنائن yang dalam bahasa Indonesia dapat bermakna
“sedia payung sebelum hujan” bukan “sebelum pergi memanah tempat panah
diisi penuh”. Perbedaan makna seperti ini disebabkan oleh perbedaan
budaya Arab dengan budaya Indonesia.
Berdasarkan pada pembahasan
tentang makna di atas dapat dikatakan bahwa tugas penerjemah adalah
mencari padanan makna yang tepat dan sesuai dengan tuntutan, bukan
sekedar mengambil makna begitu saja dari kamus. Akan tetapi ia harus
merupakan hasil pilihan yang tepat dan sepadan dengan struktur
gramatikal, situasi pembicaraan dan konteks budayanya[17].
Problematika Penerjemahan
Seorang
penerjemah pasti akan menghadapi problematika dalam mencari padanan
makna dari suatu kata. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindari karena tidak mungkin terdapat kesesuaian antara dua bahasa
dalam aspek kebahasaan dan non-kebahasaan.[18]
Dengan artian bahwa problematika makna yang dihadapi seorang penerjemah
muncul akibat perbedaan sistem, baik sistem morfologis, sintaksis dan
semantik yang terdapat antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dan
untuk memperjelas problematika makna yang dihadapi oleh seorang
penerjemah tentang perbedaan -baik dari aspek kebahasaan ataupun non
kebahasaan- antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, maka perlu kiranya
dijelaskan beberapa hal, yaitu:
1. Perbedaan Cakupan Makna
Perbedaan
ini disebabkan karena satu kata dalam suatu bahasa memiliki lebih dari
satu makna, sementara padanannya dalam bahasa yang lain hanya memiliki
satu makna. Dalam tingkatan kata semacam ini, kata-kata tersebut
mencakup beberapa padanan yang dianggap potensial.[19] Contoh:
-
Kata ( طويل ) dalam bahasa Arab, dapat diartikan dalam bahasa
Indonesia dengan kata panjang, seperti: طويل الأجل – panjang masanya.
Juga dapat diartikan dengan tinggi, seperti: الرجل طويل – Orang itu
tinggi.
- Kata (مكتبة ) dapat diartikan Perpustakaan, Toko Buku atau Koleksi buku.
2. Perbedaan Penggunaan
Perbedaan
ini karena dua kata yang dianggap sepadan dalam dua bahasa ternyata
berbaeda dalam berbagai macam penggunaannya. Seperti:
- kata poor padanannya dalam bahasa Arab (فقير )
Kata
poor bisa digunakan untuk: poor man, poor boy, poor box, poor opinion,
atau poor health, akan tetapi kata (فقير ) sebagai padanannya dalam
bahasa Arab hanya dapat digunakan dalam konteks pertama رجل فقير,
sementara pada konteks lain kita tidak mungkin menggunakan kata (فقير ).
- Kata cut padananya dalam bahawa Arab (يقطع )
Kata
cut juga bisa digunakan untuk finger, speech, cheese, hair, atau
flowers. Sementara padanannya (يقطع ) tidak dapat digunakan pada semua
konteks tadi. Akan tetapi, جرح إصبعه، قطع حديثه، قطع الجبن، قص الشعر،
قطف الأزهار .
3. Perbedaan dalam Penggunaan Majas
Setiap
bahasa tidak sama dalam penggunaan majas, karena itulah jika ada majas
dalam suatu kaliamat maka tidak dapat diterjemahkan secara harfiah,
contoh:
- Dalam bahasa Inggris, evening of life adalah majas
yang berarti usia tua (masa senja), jika kita terjemahkan secara harfiah
ke dalam bahasa Arab dengan (مساء العمر) tentu salah dalam pandangan
orang Arab. Karena mereka mengungkapkannya dengan (خريف العمر).
-
Kata soup sepadan dengan (حساء) dalam bahasa Arab. Namun ungkapan in
the soup adalah majas yang berarti berada dalam kesusahan (masalah),
jika kita terjemahkan secara harfiah ke bahasa Arab dengan (في حساء)
tentunya sangat lucu, karena akan jauh dari makna yang dimaksud yaitu
(في مأزق، في مشكلة).
Ungkapan-ungkapan majas dalam suatu bahasa
biasanya sangat terkait dengan kultur sosial dan budayanya, oleh karena
itu terkadang sangat sulit untuk dipahami dan diterjemahkan ke bahasa
yang lain.
4. Perbedaan Medan Makna (semantic field)
Medan
makna (semantic field) adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya
saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan
atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya, nama-nama warna,
dingin, panas, perabot rumah tangga, atau perkerabatan[20].
Namun banyaknya unsur leksikal dalam satu medan makna antara bahasa
yang satu dengan bahasa lain tidak sama besarnya, karena hal itu sangat
berkaitan dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa tersebut.
Contoh:
- Perbedaan dalam medan makna warna, dalam bahasa
Inggris terdapat sepuluh warna dasar, yaitu white, red, green, yellow,
blue, brown, purple, pink, orange, dan grey[21].
Sedangkan bahasa lain hanya mengenal warna cerah dan warna gelap, atau
hanya mengenal empat warna, yaitu merah, kuning, hijau, dan biru[22].
Perbedaan
dalam hal ini menimbulkan permasalahan bagi seorang penerjemah dalam
mencari padanan. Hal ini bisa karena padanan suatu kata tidak dapat
memberikan makna yang tepat dari kata dalam bahasa sumber, atau tidak
terdapat padanan kata pada bahasa sasaran.
5. Perbedaan kultur sosial dan budaya
.
Bahasa berkaitan erat dengan adat, budaya, dan lingkungan sosialnya.
Keterkaitan ini menimbulkan beragam makna yang sulit ditemukan
padanannya dalam bahasa sasaran, karena perbedaan kultur sosial dan
budaya antara dua bahasa. Umpamanya, karena masyarakat Indonesia
berbudaya makan nasi, maka dalam bahasa Indonesia ada kata yang
menyatakan padi, gabah, beras, dan nasi. Sementara di Inggris atau Arab
tidak terdapat keempat konsep tadi, karena orang Inggris atau Arab tidak
berbudaya makan nasi, mereka hanya mempunyai kata rice atau الرز .
Begitu juga sebaliknya, karena masyarakat Arab berbudaya makan kurma,
dalam bahasa Arab ada kata البلح, الرطب, dan التمر. Sementara di
Indonesia tidak terdapat keempat konsep tadi, karena orang Indonesia
tidak berbudaya makan kurma.
Pengaruh kultur sosial dan budaya
terhadap bahasa dapat kita lihat juga melalui medan makna yang terdapat
dalam suatu bahasa, contoh kata-kata yang berarti tempat duduk (bahasa
Inggris), kata-kata yang berarti unta (bahasa Arab)[23].
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bahasa inggris terdapat:
chair, bench, stool, sofa, love seat, atau pew. Setiap kata ini memiliki
makna berbeda dengan yang lain. Hal ini mustahil dapat diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Begitu juga dalam bahasa Arab ada kata جمل, إبل,
جذعة, حقة, بنت لبون dan بنت مخاض. Dan hal ini juga mustahil dicari
padanannya dalam bahasa Inggris atau Indonesia.
Makna-makna seperti
ini sangat sulit dicarikan padanannya, karena setiap masing-masing
bahasa memiliki kultur sosial dan budaya yang berbeda. Jika terdapat
kesamaan atau kedekatan kultur sosial dan budaya antara dua bahasa,
makna-makna tadi mungkin dapat diterjemahkan. Namun apabila kedua bahasa
berlainan kultur sosial dan budaya, makna-makna tersebut pasti akan
menimbulkan permasalahan bagi seorang penerjemah.
Penutup
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa problematika-problematika
yang dihadapi seorang penerjemah terjadi karena perbedaan antara bahasa
sumber dan bahasa sasaran baik dalam aspek kebahasaan maupun
non-kebahasaan.
Untuk menyikapi permasalahan ini, seorang
penerjemah diharapkan bisa memahami perbedaan karakteristik bahasa
sumber dan bahasa sasaran. Disamping itu seorang penerjemah dituntut
memiliki kemampuan dasar tentang ragam dan cara penerjemahan, juga
memahami berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Hal itu diperlukan agar
hasil terjemahannya tepat, tidak menyimpang dari tujuan teks asli, dan
bermanfaat bagi pembaca.
Daftar Pustaka
Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: PT Rineka Cipta, cet. 2, 2003.
--------, Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta: Rineka Cipta,cet. I, 2003.
al-Dâyah, Fâyiz, ‘Ilm al-Dalâlah al-‘Arabi, Beirût: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1996.
al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn, Kitâb al-Asybâh wa al-Nazhâir fî al-Nahw, Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1996.
Djajasudarma, T. Fatimah, Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna, Bandung: Eresco, 1993.
--------, Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur, Bandung: Refika Aditama, 2006.
Haidar, Farîd ‘Audh, ‘Ilm al-Dalâlah Dirâsah Nazhariyah wa Tathbîqiyyah, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1999.
Hanafi, Nurachman, Teori dan Seni Menerjemahkan, Flores-NTT: Penerbit Nusa Indah, 1986.
Hilâl, ‘Abd al-Ghaffâr Hâmid, ‘Ilm al-Dalâlah al-Lughawiyah, Kairo: Jâmi‘ah al-Azhar, tt.
Larson, Mildred L. Meaning-based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence, University Press of America Inc., 1984.
Mansyur, Moh. dan Kustiawan, Dalîl al-Kâtib Wa al-Mutarjim, Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2002.
Matsna, Moh. HS, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari, Jakarta: Anglo Media, 2006.
Mujâhid, ‘Abd al-Karîm, al-Dilâlah al-Lughawiyah ‘Inda al-‘Arab, Omman: Dâr Al-Dhiya', tt.
Newmark, Peter, A textbook of Translation, New York: Prentice Hall Inc., 1988.
--------, Aproaches to Translation, Oxford: Pergamon Press, 1981.
‘Umar, Ahmad Mukhtâr, 'Ilm al-Dilalah, Kuwait: Maktabah Dâr al-'Urubah,1982.
[1]Makalah
dipresentasikan pada TOT Comunitas Penulis yang diadakan oleh
E-Learning Community PP Nurul Jadid tanggal 29-31 Desember 2008
[2]Moh. Mansyur dan Kustiawan, Dalîl al-Kâtib Wa al-Mutarjim (Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2002), h. 20.
[3]Peter
Newmark, Aproaches to Translation (Oxford: Pergamon Press, 1981), h. 7.
dan Peter Newmark, A textbook of Translation (New York: Prentice Hall
Inc., 1988), h. 5.
[4]Ahmad Mukhtâr ‘Umar, 'Ilm al-Dilalah (Kuwait: Maktabah Dâr al-'Urubah,1982),h. 251.
[5]Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta,cet. I, 2003), h 269.
[6]Fâyiz
al-Dâyah, ‘Ilm al-Dalâlah al-‘Arabi (Beirût: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir,
1996), h. 20-21. dan Moh. Matsna HS, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari,
(Jakarta: Anglo Media, 2006), h. 27.
[7]Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Kitâb al-Asybâh wa al-Nazhâir fî al-Nahw (Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1996), h. 335.
[8]‘Abd al-Ghaffâr Hâmid Hilâl, ‘Ilm al-Dalâlah al-Lughawiyah (Kairo: Jâmi‘ah al-Azhar, tt), h. 32-33.
[9]Farîd ‘Audh Haidar, ‘Ilm al-Dalâlah Dirâsah Nazhariyah wa Tathbîqiyyah, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1999), h. 56.
[10]T. Fatimah Djajasudarma,Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna (Bandung: Eresco, 1993 ), hal. 6
[11]Ahmad Mukhtâr ‘Umar, 'Ilm al-Dilalah, h. 37.
[12]Ahmad Mukhtâr ‘Umar, ‘Ilm al-Dalâlah, h. 69-70.
[13]T. Fatimah Djajasudarma, Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur (Bandung: Refika Aditama, 2006), h. 36.
[14]Moh Matsna HS, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari, h. 22.
[15]Ahmad Mukhtâr ‘Umar, ‘Ilm al-Dalâlah, h. 71.
[16]Farîd ‘Audh Haidar, ‘Ilm al-Dalâlah Dirâsah Nazhariyah wa Tathbîqiyyah, h. 162.
[17]Lihat
Mildred L. Larson, Meaning-based Translation: A Guide to Cross-language
Equivalence, (University Press of America Inc., 1984), h. 3.
[18]Ahmad Mukhtâr ‘Umar, ‘Ilm al-Dalâlah, h. 251.
[19]Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan (Flores-NTT: Penerbit Nusa Indah, 1986), h. 46.
[20]Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, cet. 2, 2003), h. 315.
[21]Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 316.
[22]Ahmad Mukhtâr ‘Umar, ‘Ilm al-Dalâlah, h. 262.
[23]‘Abd al-Karîm Mujâhid, al-Dilâlah al-Lughawiyah ‘Inda al-‘Arab (Omman: Dâr Al-Dhiya', tt ) h. 106.